Pada tanggal 21 Juni 2023 diadakan Focus Group Discussion (FGD) mengenai Kajian Potensi Koridor dan Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Koridor Gajah Sumatera di Provinsi Aceh. FGD ini diselenggarakan oleh Konsorsium Redelong Berkelanjutan TFCA Sumatera yang terdiri dari Pusat Riset Konservasi Gajah dan Biodiversitas Hutan (PKGB), Pusat Riset Geospasial Universitas Syiah Kuala, Yayasan Redelong Institute, dan Rumah Indonesia Berkelanjutan. Kegiatan ini diawali dengan pemberian kata sambutan dari kepala PKGB, Dr. Abdullah, M.Si. Beliau menyatakan bahwa salah satu prioritas utama adalah menyelamatkan gajah dengan tujuan mengembangkan penelitian dan pengetahuan untuk menjaga kelangsungan hidup populasi gajah melalui berbagai pendekatan. Diharapkan dengan adanya upaya ini dapat menjadi kontribusi kita secara kolektif. Salah satu implementasi dari upaya tersebut adalah dengan diadakannya kegiatan FGD ini.
Sesi selanjutnya adalah pemberian kata sambutan dan pembukaan FGD oleh PJ Ketua LPPM Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Taufik Fuadi Abidin, S.Si., M.Tech. Beliau mengemukakan bahwa rekomendasi kebijakan pembangunan koridor gajah Sumatera merupakan kegiatan penting yang harus segera dilakukan. Populasi gajah semakin berkurang akibat perubahan iklim dan perburuan liar. Upaya penyelamatan sangat diperlukan untuk menjaga populasi gajah. Sejak tahun 2022, USK telah bekerjasama dalam penyusunan dokumen-dokumen untuk menyelamatkan hutan di provinsi Aceh. Tujuan dari kegiatan FGD ini adalah untuk menerapkan ide-ide tersebut di lapangan sehingga motto “Save Elephant” dapat diwujudkan dengan sungguh-sungguh. Agar hal tersebut terealisasi, dibutuhkan adanya kolaborasi antara lembaga-lembaga yang menjadi faktor kunci dalam pelaksanaan upaya penyelamatan Gajah Sumatera di Aceh. Harapannya melalui proposal yang komprehensif, dapat diajukan usulan-usulan yang matang untuk menjaga keberlanjutan program ini.
Hasil dari pertemuan ini diharapkan dapat disebarluaskan melalui berita dan opini yang disusun dengan baik, serta rekomendasi yang dihasilkan akan menjadi hal penting bagi semua pihak untuk memantau perkembangan usaha konservasi dan memberikan informasi kepada para pemangku kepentingan tentang upaya penyelamatan populasi Gajah Sumatera.
Kegiatan inti FGD ini dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh, Gunawan Alza, S.Hut. Beliau memaparkan bahwa terdapat berbagai macam studi yang dilakukan untuk mengembangkan koridor dengan tujuan menjaga keberlanjutan konservasi. Upaya ini melibatkan berbagai pihak dalam pembangunan koridor yang menjadi prioritas. Inisiasi koridor ini didasari oleh keberadaaan empat spesies kunci, yaitu gajah, harimau, orangutan, dan badak pada satu bentang alam di provinsi Aceh.
Perubahan penggunaan lahan akibat urbanisasi, keterbatasan ruang gerak/area jelajah, dan konflik dengan manusia menjadi faktor utama yang mengganggu wilayah hunian (home range) sehingga menyebabkan adanya konflik dengan satwa liar di luar kawasan konservasi. Tingkat konflik satwa liar di Indonesia saat ini merupakan yang tertinggi di Asia, yaitu sekitar 1,2% yang terdiri dari 18 kabupaten mengalami konflik tersebut. Pemerintah memberikan ruang perlindungan dan pengelolaan sesuai dengan undang-Undang No. 23 tahun 2014. Diharapkan melalui undang-undang tersebut dapat menjadi landasan penting dalam penanganan konflik ini.
Dalam menjaga kehidupan liar, pentingnya pengembangan koridor tidak bisa diabaikan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi konflik dengan memperhatikan pembagian ruang secara lebih teliti. Penetapan koridor tersebut dilakukan di luar kawasan pelestarian alam, seperti Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Taman Buru (KSA). Oleh sebab itu, kerjasama dan dukungan antara lembaga terkait, perlindungan dari pemerintah daerah, dan pemerintah pusat sangatlah penting. Harapannya semua pihak dapat berpartisipasi dalam upaya ini, agar satwa liar dapat terlindungi dan masyarakat terbebas dari interaksi negatif dengan satwa liar.
Dalam tahapan rancang bangun koridor telah melalui serangkaian proses, yaitu pengesahan Surat Keputusan (SK), pertemuan dengan para ahli, pengumpulan data primer dan sekunder mengenai konflik satwa liar, dan survei serta pemantauan (monitoring) menggunakan GPS collar. Data sekunder meliputi potensi ekologi, penutupan lahan, sosial ekonomi, dan pengembangan wilayah, kebijakan, dan perizinan yang melintasi wilayah gajah dengan menggunakan pemodelan MaxEnt. Tim yang terdiri dari berbagai mitra yang ditunjuk oleh kepala dinas, telah menghasilkan peta indikatif terkait studi koridor tersebut. Penyusunan dokumen rancang bangun koridor ini masih menunggu pengesahan.
Hasil analisis ekosistem penting di Aceh (setelah menganalisis beberapa parameter lingkungan seperti sungai, lereng, GPS collar, jarak ke desa, jalan, perkebunan, dan lainnya) dengan analisis MaxEnt, menunjukkan bahwa 60% konflik terjadi dekat dengan pemukiman, dan konflik tersebut menunjukkan tingkat kerentanan yang tinggi. Tujuan utamanya adalah menciptakan daerah ideal bagi satwa liar yang dapat digambarkan dalam peta kawasan, dengan potensi konflik berkisar antara 3-5 km dari pemukiman.
Terdapat 9 koridor gajah yang diusulkan di Aceh dan tersebar di seluruh provinsi. Koridor-koridor tersebut tidak hanya berfokus pada gajah Sumatera, tetapi juga mencakup beragam spesies lain. Area koridor terdiri dari Kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) sebesar 25%, Hutan Produksi Terbatas (HPT) sebesar 22,29%, Hutan Lindung sebesar 44,22%, dan sisanya adalah tubuh air. Koridor kehidupan liar berfungsi sebagai penghubung bagi satwa liar untuk kawin dan melakukan perjalanan, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran genetik dan mencegah terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding) gajah di alam. Pengembangan koridor disesuaikan dengan penggunaan kawasan yang sudah ditetapkan dan mempertimbangkan kesesuaian untuk meminimalkan interaksi negatif. Hal ini melibatkan peran pelaku usaha yang berdekatan dengan koridor dan keterlibatan kampus dalam upaya penyelamatan. Pendekatan ini diharapkan dapat saling mendukung dalam menjaga nilai konservasi yang tinggi dan kelestarian kawasan, yang juga berdampak pada jasa lingkungan serta aspek sosial budaya yang sangat penting dalam upaya perlindungan kawasan. Langkah selanjutnya adalah perlunya dilakukan penetapan peta indikatif dan penyusunan rencana aksi perlindungan, serta melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala. Diharapkan dengan adanya perencanaan pembangunan koridor, keputusan Gubernur dan Qanun dapat diimplementasikan dengan maksimal dalam keputusan daerah. Perencanaan ini sedang ditelaah untuk dimasukkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh. Selain itu, penyesuaian komoditas perlu dilakukan agar tidak menarik satwa liar ke perkebunan masyarakat (adanya biobarrier), sehingga tidak terjadinya konflik antara satwa liar dan masyarakat.
Sesi selanjutnya merupakan pemaparan materi dari Sub Koordinator Konservasi SDA, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Nopi Ariansyah, S.Hut., M.Si. Beliau menyatakan bahwa rancangan kolaboratif koridor merupakan upaya bersama dari berbagai instansi untuk mencari solusi alternatif dalam mengatasi konflik antara manusia dan gajah. Pengendalian koridor kehidupan liar membutuhkan adanya kerjasama lintas sektor untuk menyelaraskan program dengan berbagai mitra dan mengatur Hak Guna Usaha (HGU) dengan memanfaatkan High Conservation Value (HCV) sebagai landasan. Hal ini sangat penting dilakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan di area perusahaan sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat dan daerah setempat.
Perusahaan yang memiliki konsesi dapat terlibat langsung dalam upaya perlindungan melalui instruksi dari gubernur yang diteruskan melalui bupati sebagai wadah kolaboratif untuk penanganan koridor dari berbagai area. Tujuan utamanya adalah mencegah konflik kepentingan antara manusia dan kehidupan liar. Sasaran utama dalam pengelolaan koridor tersebut melibatkan berbagai pihak terkait untuk menerapkan praktik terbaik dalam menyesuaikan komoditas dengan keberadaan koridor. Hal ini diharapkan dapat mengurangi konflik antara gajah dan manusia. Sebelumnya telah diidentifikasi terdapat 31 jenis spesies sebagai target implementasi khusus. Sesi terakhir pemaparan materi dilanjutkan oleh kepala PKGB, Dr. Abdullah, M.Si. Beliau mendukung penjelasan yang disampaikan oleh pemateri sebelumnya dan juga mengemukakan beberapa solusi untuk melindungi gajah, salah satunya adalah melalui pendekatan ekologi dan kearifan local (local wisdom). Pendekatan ekologi dapat berfokus pada area antong gajah, dan pendekatan kearifan local dapat diterapkan pada area zona buffer (buffer zone). Ketersediaan pakan di hutan yang tidak memadai, mengakibatkan kurangnya daya dukung habitat gajah. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan cuaca,yaitu perubahan musim hujan dan kemarau. Oleh karena itu, penting untuk memahami kapasitas lingkungan dalam menampung populasi gajah. Kondisi lingkungan juga berperan penting dalam populasi gajah, seperti kemiringan tanah. Gesekan tubuh, ketersediaan makanan untuk herbivora, dan sumber gangguan lain yang berasal dari adanya aktivitas manusia. Dengan demikian, diharapkan setelah kegiatan FGD ini, kerjasama dapat terus terjalin dengan berbagai lembaga terkait sehingga konflik berkepanjangan antara gajah dan manusia dapat teratasi.
Penulis: Yuri Gagarin, S.Pd., M.Pd. & Zulfikar, S.Pd., M.Si.
Editor: Cut Intan Evtia Nurina, S.Pd., M.Pd.